Baca: Galatia 2:19–20
Alkitab dalam setahun: Mazmur 90–95
Mind Map Bukan Agama Melainkan Jalan Hidup
Pernahkah Saudara mendengar kalimat ini, “Christianity is not a religion, but a way of life” (“Kekristenan bukanlah sebuah agama, melainkan jalan hidup”)? Agama-agama lain juga mengatakan mereka bukan agama melainkan jalan hidup, tetapi sesungguhnya hanya Kekristenanlah yang bisa disebut demikian, sebab Kekristenan tidaklah cukup diisi dengan kegiatan seremonial dan peraturanperaturan agamawi. Kekristenan adalah mempraktikkan ketaatan kepada kehendak Bapa sepanjang hidup kita, seperti yang telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus sepanjang hidup-Nya di bumi ini.
Kepuasan yang dimiliki oleh orang-orang yang merasa sudah menjadi umat pilihan, kepuasan bahwa mereka merasa sudah diadopsi menjadi anak-anak Allah, kepuasan bahwa mereka merasa sudah diselamatkan telah membutakan pengertian yang benar tentang keselamatan dan membuat orang tidak hidup dalam jalan keselamatan yang benar. Waspadalah.
Jalan keselamatan yang benar adalah melakukan kehendak Bapa, dengan meneladani Tuhan Yesus. Ia taat sampai mati, sekalipun bila mau, Ia pun bisa saja memilih untuk tidak dengar-dengaran kepada Bapa-Nya. Karena taat dan mencapai kesempurnaan, Tuhan Yesus menjadi pokok keselamatan (Ibr. 5:9). Kata “pokok” dalam teks ini adalah αἴτιος (aítios) yang berarti “penggubah”. Ia menjadi Penggubah atau Pembentuk manusia sehingga menjadi seperti yang Bapa kehendaki.
Artinya, Tuhan Yesus mau membentuk atau mendesain ulang manusia yang mau taat kepada-Nya. Setiap orang yang mau diselamatkan harus memberi diri untuk diubah, dibentuk dan diserupakan dengan Tuhan Yesus sebagai gambaran utama manusia. Di sini kita menemukan gambaran dari suatu proses pembentukan individu. Jadi jangan kita berpikir bahwa menjadi Kristen itu, yang penting ya rajin beribadah ke gereja. Memang itu penting, tetapi kehidupan kita setiap hari lebih penting, sebab itulah sekolah kehidupan yang sesungguhnya, tempat kebenarankebenaran yang kita dengar harus kita terapkan.
Karena keselamatan itu proses, maka kita semua adalah murid yang masih harus belajar, bertumbuh dan memperagakan kebenaran. Kita masih tetap manusia dengan segala kelemahan dan kekurangan yang ada, tetapi kita tidak boleh tetap tinggal di dalam kekurangan dan kelemahan itu. Kita harus mau dibentuk dan terus belajar sebagai murid, sampai “Hidupku bukannya aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku” bukan hanya slogan, tetapi kenyataan hidup.
Kekristenan adalah melakukan kehendak Bapa sepanjang hidup kita di bumi ini.
Sumber : Renungan Harian Truth

Tuesday, October 5, 2010
GARIS PANJANG
Baca: Filipi 2:12–13
Alkitab dalam setahun: Yesaya 64–66
Mind Map Garis Panjang
Jika kita bertanya pada seseorang, “Kapan Anda diselamatkan?” Jawaban yang sering kita dengar adalah, “Saat ada sebuah KKR,” “Ketika saya mendengar siaran rohani di radio,” atau peristiwa lainnya. Banyak orang merasa sudah selamat setelah mereka beranjak maju ke altar, mengaku dosa dan mengaku percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tetapi kenyataannya, berapa banyak dari antara mereka yang kita kenal itu, yang saat ini sudah tidak menjadi anak Tuhan lagi? Bahkan ada yang sekarang menghina Tuhan Yesus yang dahulu diakuinya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Berarti menerima keselamatan tidak bisa dipandang secara subjektif berdasarkan apa yang dirasakan seseorang, maksudnya merasakan sudah menerima dan memiliki keselamatan, padahal kenyataannya belum.
Kita harus memahami prinsip bahwa menerima keselamatan itu bukanlah seperti suatu momen atau peristiwa yang dapat digambarkan sebagai sebuah titik. Menerima keselamatan adalah proses yang dapat digambarkan sebagai suatu garis panjang, sebab itu memang proses yang harus kita lalui sepanjang hidup kita.
Apabila seseorang merasa dirinya sudah diselamatkan dalam suatu momen tertentu, atau dengan kata lain menganggap bahwa keselamatan itu adalah suatu peristiwa sesaat bagai sebuah titik, maka ia pun tidak akan bertumbuh dalam keselamatan, tidak bertumbuh dalam kedewasaan, tidak bertumbuh dalam kesempurnaan Kristiani. Jika tidak bertumbuh, mustahillah baginya mencapai standar di mana ia dapat dikenal oleh Tuhan (Mat. 7:21–23).
Jadi semestinya jika kita ditanya, “Apakah anda sudah selamat?”, jawaban yang benar adalah “Ya, saya sedang dalam proses penyelamatan”. Ini menunjukkan kita menyadari bahwa keselamatan adalah suatu proses. Ini bukan berarti kita tidak bisa mengatakan bahwa kita belum selamat. Kita sudah selamat, dan sedang mengerjakan keselamatan itu. Kenyataan bahwa kita sudah selamat harus dibuktikan dengan perjuangan kita mengerjakan keselamatan itu.
Manakala kita berhenti dari proses mengerjakan keselamatan, berarti kita tidak selamat lagi, karena keselamatan itu bukan hanya terhindar dari api neraka dan diperkenankan masuk sorga. Keselamatan adalah usaha Tuhan untuk mengembalikan manusia pada rancangan-Nya semula. Inilah proses tersebut, yaitu kita memberi diri digarap oleh Tuhan Yesus agar kita menjadi sempurna seperti Bapa. Tuhan Yesuslah yang menjadi teladan hidup kita—seperti yang Bapa kehendaki—sebab Dia telah membuktikan ketaatan-Nya hingga mati di kayu salib.
Menerima keselamatan adalah proses mengerjakan keselamatan sepanjang hidup kita.
Alkitab dalam setahun: Yesaya 64–66
Mind Map Garis Panjang
Jika kita bertanya pada seseorang, “Kapan Anda diselamatkan?” Jawaban yang sering kita dengar adalah, “Saat ada sebuah KKR,” “Ketika saya mendengar siaran rohani di radio,” atau peristiwa lainnya. Banyak orang merasa sudah selamat setelah mereka beranjak maju ke altar, mengaku dosa dan mengaku percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tetapi kenyataannya, berapa banyak dari antara mereka yang kita kenal itu, yang saat ini sudah tidak menjadi anak Tuhan lagi? Bahkan ada yang sekarang menghina Tuhan Yesus yang dahulu diakuinya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Berarti menerima keselamatan tidak bisa dipandang secara subjektif berdasarkan apa yang dirasakan seseorang, maksudnya merasakan sudah menerima dan memiliki keselamatan, padahal kenyataannya belum.
Kita harus memahami prinsip bahwa menerima keselamatan itu bukanlah seperti suatu momen atau peristiwa yang dapat digambarkan sebagai sebuah titik. Menerima keselamatan adalah proses yang dapat digambarkan sebagai suatu garis panjang, sebab itu memang proses yang harus kita lalui sepanjang hidup kita.
Apabila seseorang merasa dirinya sudah diselamatkan dalam suatu momen tertentu, atau dengan kata lain menganggap bahwa keselamatan itu adalah suatu peristiwa sesaat bagai sebuah titik, maka ia pun tidak akan bertumbuh dalam keselamatan, tidak bertumbuh dalam kedewasaan, tidak bertumbuh dalam kesempurnaan Kristiani. Jika tidak bertumbuh, mustahillah baginya mencapai standar di mana ia dapat dikenal oleh Tuhan (Mat. 7:21–23).
Jadi semestinya jika kita ditanya, “Apakah anda sudah selamat?”, jawaban yang benar adalah “Ya, saya sedang dalam proses penyelamatan”. Ini menunjukkan kita menyadari bahwa keselamatan adalah suatu proses. Ini bukan berarti kita tidak bisa mengatakan bahwa kita belum selamat. Kita sudah selamat, dan sedang mengerjakan keselamatan itu. Kenyataan bahwa kita sudah selamat harus dibuktikan dengan perjuangan kita mengerjakan keselamatan itu.
Manakala kita berhenti dari proses mengerjakan keselamatan, berarti kita tidak selamat lagi, karena keselamatan itu bukan hanya terhindar dari api neraka dan diperkenankan masuk sorga. Keselamatan adalah usaha Tuhan untuk mengembalikan manusia pada rancangan-Nya semula. Inilah proses tersebut, yaitu kita memberi diri digarap oleh Tuhan Yesus agar kita menjadi sempurna seperti Bapa. Tuhan Yesuslah yang menjadi teladan hidup kita—seperti yang Bapa kehendaki—sebab Dia telah membuktikan ketaatan-Nya hingga mati di kayu salib.
Menerima keselamatan adalah proses mengerjakan keselamatan sepanjang hidup kita.
RENCANA BESAR
Baca: Roma 8:12–17
Alkitab dalam setahun: Yesaya 54–58
Mind Map Rencana Besar
Orang tua sering menanyakan ini kepada anak-anaknya, “Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?” Banyak orang memiliki rencana besar dalam hidup mereka dan anak-anak mereka, agar menjadi seseorang yang berhasil, yang sukses, yang bisa membanggakan keluarga besar mereka. Rencana ini diaturnya untuk dirinya sendiri dan untuk anak-anaknya, menyangkut masalah studi, jodoh, karier, dan lain sebagainya.
Biasanya rencana-rencana tersebut juga untuk memenuhi budaya kehidupan masyarakat pada umumnya, yaitu manusia harus berkarier dan berusaha sukses. Di balik semua itu, juga ada hasrat untuk menjadi orang terhormat, orang besar, dan orang yang dinilai sukses dan layak ditempatkan di tempat penting di masyarakat. Sebenarnya inilah yang disebut “hidup untuk hidup”: hidup dalam kewajaran seperti manusia pada umumnya.
Biasanya orang berpendirian bahwa menetapkan cita-cita untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya merupakan sesuatu yang benar, karena itu baik adanya. Mereka berpikir bahwa yang direncanakannya itu tidak merugikan siapa pun, dan bahkan membawa kebaikan bagi orang lain, paling tidak untuk orang-orang yang mereka cintai. Padahal dalam ukuran Tuhan, itu belum tentu benar, sebab Ia melihat ke dalam hati orang percaya. Ia melihat motivasi terdalam seseorang dalam membuat rencana dan melakukan rencana tersebut. Kalau fokus hidup kita atas rencana tersebut adalah sebagai kewajiban untuk meraih kehidupan wajar, apalagi untuk pemuasan ambisi pribadi—kebanggaan menjadi manusia yang sukses—maka kita tidak memosisikan diri sebagai milik Tuhan dan hamba-Nya.
Seharusnya yang menjadi perhatian utama kita sebagai orang percaya adalah bagaimana ikut masuk rencana besar Tuhan. Apakah rencana besar-Nya itu? Rencana besar Tuhan adalah menempatkan manusia dalam kemuliaan-Nya, bersamasama dengan diri-Nya dalam kerajaan Bapa di Surga (ay. 17), di langit dan bumi yang baru nanti. Rencana Bapa bagi kita jauh lebih besar daripada sukses dalam studi, jodoh maupun karier yang direncanakan bagi diri sendiri atau anak-anak.
Merancang segala sesuatu demi keagungan diri sendiri adalah suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Mari kita menempatkan dasar pemikiran yang benar, yaitu masuk ke dalam proses menjadi sempurna seperti Bapa dan dilibatkan Tuhan untuk penyelamatan dunia ini. Dengan demikian, segala aspek kehidupan kita seperti studi, jodoh dan karier juga diarahkan untuk mendukung rencana besar Tuhan.
Fokuskan perhatian kita kepada rencana besar Tuhan
untuk menempatkan kita dalam kemuliaan-Nya di Kerajaan Surga.
Alkitab dalam setahun: Yesaya 54–58
Mind Map Rencana Besar
Orang tua sering menanyakan ini kepada anak-anaknya, “Kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?” Banyak orang memiliki rencana besar dalam hidup mereka dan anak-anak mereka, agar menjadi seseorang yang berhasil, yang sukses, yang bisa membanggakan keluarga besar mereka. Rencana ini diaturnya untuk dirinya sendiri dan untuk anak-anaknya, menyangkut masalah studi, jodoh, karier, dan lain sebagainya.
Biasanya rencana-rencana tersebut juga untuk memenuhi budaya kehidupan masyarakat pada umumnya, yaitu manusia harus berkarier dan berusaha sukses. Di balik semua itu, juga ada hasrat untuk menjadi orang terhormat, orang besar, dan orang yang dinilai sukses dan layak ditempatkan di tempat penting di masyarakat. Sebenarnya inilah yang disebut “hidup untuk hidup”: hidup dalam kewajaran seperti manusia pada umumnya.
Biasanya orang berpendirian bahwa menetapkan cita-cita untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya merupakan sesuatu yang benar, karena itu baik adanya. Mereka berpikir bahwa yang direncanakannya itu tidak merugikan siapa pun, dan bahkan membawa kebaikan bagi orang lain, paling tidak untuk orang-orang yang mereka cintai. Padahal dalam ukuran Tuhan, itu belum tentu benar, sebab Ia melihat ke dalam hati orang percaya. Ia melihat motivasi terdalam seseorang dalam membuat rencana dan melakukan rencana tersebut. Kalau fokus hidup kita atas rencana tersebut adalah sebagai kewajiban untuk meraih kehidupan wajar, apalagi untuk pemuasan ambisi pribadi—kebanggaan menjadi manusia yang sukses—maka kita tidak memosisikan diri sebagai milik Tuhan dan hamba-Nya.
Seharusnya yang menjadi perhatian utama kita sebagai orang percaya adalah bagaimana ikut masuk rencana besar Tuhan. Apakah rencana besar-Nya itu? Rencana besar Tuhan adalah menempatkan manusia dalam kemuliaan-Nya, bersamasama dengan diri-Nya dalam kerajaan Bapa di Surga (ay. 17), di langit dan bumi yang baru nanti. Rencana Bapa bagi kita jauh lebih besar daripada sukses dalam studi, jodoh maupun karier yang direncanakan bagi diri sendiri atau anak-anak.
Merancang segala sesuatu demi keagungan diri sendiri adalah suatu pemberontakan terhadap Tuhan. Mari kita menempatkan dasar pemikiran yang benar, yaitu masuk ke dalam proses menjadi sempurna seperti Bapa dan dilibatkan Tuhan untuk penyelamatan dunia ini. Dengan demikian, segala aspek kehidupan kita seperti studi, jodoh dan karier juga diarahkan untuk mendukung rencana besar Tuhan.
Fokuskan perhatian kita kepada rencana besar Tuhan
untuk menempatkan kita dalam kemuliaan-Nya di Kerajaan Surga.
Subscribe to:
Posts (Atom)